Selasa, 28 Oktober 2008

Remaja dan Aspek Psikososial

Remaja dan Aspek Psikososial
Banyak yang bilang masa remaja adalah masa yang paling indah (duh... seperti di dalam lagi ya) karena di masa remaja banyak perubahan yang kita alami, mulai dari perubahan fisik sampai psikologi. Dan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk masyarakat.
Segala macam aspek hubungan sosial dengan kawan, orangtua, ataupun guru bisa disebut dengan aspek psikososial.
Masa remaja yang kita alami ini merupakan suatu periode dalam rentang kehidupan manusia, mau atau tidak mau pasti kita mengalaminya. Pada masa ini, berlangsung proses-proses perubahan secara biologis juga perubahan psikologis yang dipengaruhi berbagai faktor, termasuk oleh masyarakat, teman sebaya, dan juga media massa. Kita yang berada di masa remaja ini juga belajar meninggalkan sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan pada saat yang bersamaan kita mempelajari perubahan pola perilaku dan sikap baru orang dewasa. Selain itu, kita yang remaja ini juga dihadapkan pada tuntutan yang terkadang bertentangan, baik dari orangtua, guru, teman sebaya, maupun masyarakat di sekitar. Kita bisa-bisa menjadi bingung karena masing-masing memberikan tuntutan yang berbeda-beda tergantung pada nilai, norma, atau standar yang digunakan.
Intinya aspek psikososial bisa didefinisikan sebagai aspek yang ada hubungannya dengan kejiwaan kita dan sosial. Kejiwaan tentu saja berasal dari dalam diri kita, sedangkan aspek sosial berasal dari luar (eksternal). Kedua aspek ini sangat berpengaruh kala masa pertumbuhan kita.
Kadang yang lebih berpengaruh justru bukan aspek kejiwaan, melainkan aspek eksternal. Misalnya, media massa membangun imej remaja putri yang oke adalah yang berkulit putih, bertubuh langsing, dan berpayudara besar. Demi mengejar body image seperti itu, banyak yang termakan dan berusaha menjadi imej seperti yang dikatakan di media massa.
Sudah saatnya perubahan diri terjadi bukan dari luar, melainkan dari dalam diri kita sendiri karena seharusnya aspek psikososial berlangsung secara seimbang. Pengaruh dari luar harusnya mampu mengubah kita menjadi manusia yang lebih baik. Dengan kondisi ini, diharapkan interaksi aspek psikologi dan sosial dapat menjadi positif, yang pada akhirnya dapat berdampak positif pada pembentukan identitas diri kita.
YAHYA MA’SHUM PKBI Pusat
sumber: Harian Kompas, Jumat, 17 November 2006

Rabu, 22 Oktober 2008

KPK (Kapan Pikirkan Kami)

Korupsi dan Mafia Korupsi
Disimpan pada Politik & Hukum — Budi @ 3:56 am Mei 22, 2007
Indonesia negara terkorup kelima di dunia. Begitu pernyataan KPK yang disampaikan Sjahruddin Rasul, Wakil Ketua KPK. Indeks korupsi Indonesia juga sangat rendah, yakni 2,4 poin. Poin itu nilainya sama dengan 4 atau D. Jika seorang mahasiwa yang mendapat nilainya D atau 4 dalam ujiannya, dia tidak lulus, katanya mencontohkan. Menurutnya, Indonesia hanya satu langkah di bawah negara Timor Leste, negara yang baru saja merdeka. Oleh karena itu, kata Sjahruddin, semua pihak seyogianya menyadari masalah itu dan pemerintah sebaiknya juga menetapkan korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary) (Kompas, 22/5/07).
Begitulah wajah korupsi negeri ini. Bisa diranking layaknya murid sekolahan. Setiap tahun posisi itu bisa berubah atau digeser negara lain yang memiliki indeks korupsi lebih tinggi. Hebatnya, Indonesia masih tetap bertengger di posisi lima besar negara paling korup di dunia. Tahun lalu, posisi Indonesia ada di posisi nomor dua. Prestasi tertinggi, tapi ironisnya bukan menjadi kebanggaan tapi justru kenistaan.
Entah, sampai kapan kita berbenah mengganyang praktek korupsi. Selama KPK ada, atau setelah kita berpikir dewasa dan waspada bahwa korupsi itu musuh bersama. Butuh waktu panjang menuntaskan persoalan ini.
Pemberantasan korupsi di negeri ini masih didominasi wacana dengan wahana yang terbatas. Penangkapan besar-besaran oleh KPK melahirkan wacana bahwa KPK lebih banyak bersikap “tebang pilih”. Sementara wahana pemberantasan korupsi yang dijalankan aparat hukum pun terkadang tumpang tindih. KPK, Kejaksaan dan Kepolisian berlomba memburu tikus-tikus rakus.
Di kepolisian, penangkapan bisa dilakukan bila ada laporan. Begitu pula tikus yang disangkarkan di kantor kejaksaan, seringkali betah tinggal di sana karena proses birokrasi hukum para jaksa terlalu lambat. Hingga kemudian, Presiden SBY sempat “meminta” Jaksa Agung agar memindahkan kasus-kasus korupsi yang lama ditangani kepolisian dan Kejakgung ke tangan KPK.
Begitulah jadinya. Penuntasan hukuman bagi korupsi di negeri ini cukup lamban. Apalagi ketika kepentingan aktor-aktor di panggung pemberantasan turut bermain. Entah itu anggota KPK-lah, Pengacara terdakwa korupsi-lah, Panitra Hukum di kantor kehakiman-lah bahkan orang-orang di Mahkamah Agung pun malah ikut bermain. Alih-alih bukannya bertekad memberantas korupsi, tapi malah sebaliknya ingin mencicipi juga duit korupsi.
Hukum di negeri bernama Indonesia ini memang penuh mafia. Mafia kelas kakap hingga kelas tikus angin bertebaran di mana-mana. Menawarkan jasa sembunyi-sembunyi hingga buka-bukaan di sudut-sudut ruang Kejaksaan dan Pengadilan. Bermain dengan Jaksa, Hakim dan juga Lembaga Keuangan contoh: BI, dan BLBI, Yudikatif, Eksekutif dan Legislatif sama gilanya.
Bila sudah begitu, kita perlu berpikir ulang. Benarkah keinginan memberantas korupsi itu bakal mengakar dalam diri bangsa ini?. Hanya Allah SWT yang tau (Alahualambisawab). Terimakasih banyak atas kebaikan karena Allah SWT. (Jazakumullahukhoir).