Korupsi dan Mafia Korupsi
Disimpan pada Politik & Hukum — Budi @ 3:56 am Mei 22, 2007
Indonesia negara terkorup kelima di dunia. Begitu pernyataan KPK yang disampaikan Sjahruddin Rasul, Wakil Ketua KPK. Indeks korupsi Indonesia juga sangat rendah, yakni 2,4 poin. Poin itu nilainya sama dengan 4 atau D. Jika seorang mahasiwa yang mendapat nilainya D atau 4 dalam ujiannya, dia tidak lulus, katanya mencontohkan. Menurutnya, Indonesia hanya satu langkah di bawah negara Timor Leste, negara yang baru saja merdeka. Oleh karena itu, kata Sjahruddin, semua pihak seyogianya menyadari masalah itu dan pemerintah sebaiknya juga menetapkan korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary) (Kompas, 22/5/07).
Begitulah wajah korupsi negeri ini. Bisa diranking layaknya murid sekolahan. Setiap tahun posisi itu bisa berubah atau digeser negara lain yang memiliki indeks korupsi lebih tinggi. Hebatnya, Indonesia masih tetap bertengger di posisi lima besar negara paling korup di dunia. Tahun lalu, posisi Indonesia ada di posisi nomor dua. Prestasi tertinggi, tapi ironisnya bukan menjadi kebanggaan tapi justru kenistaan.
Entah, sampai kapan kita berbenah mengganyang praktek korupsi. Selama KPK ada, atau setelah kita berpikir dewasa dan waspada bahwa korupsi itu musuh bersama. Butuh waktu panjang menuntaskan persoalan ini.
Pemberantasan korupsi di negeri ini masih didominasi wacana dengan wahana yang terbatas. Penangkapan besar-besaran oleh KPK melahirkan wacana bahwa KPK lebih banyak bersikap “tebang pilih”. Sementara wahana pemberantasan korupsi yang dijalankan aparat hukum pun terkadang tumpang tindih. KPK, Kejaksaan dan Kepolisian berlomba memburu tikus-tikus rakus.
Di kepolisian, penangkapan bisa dilakukan bila ada laporan. Begitu pula tikus yang disangkarkan di kantor kejaksaan, seringkali betah tinggal di sana karena proses birokrasi hukum para jaksa terlalu lambat. Hingga kemudian, Presiden SBY sempat “meminta” Jaksa Agung agar memindahkan kasus-kasus korupsi yang lama ditangani kepolisian dan Kejakgung ke tangan KPK.
Begitulah jadinya. Penuntasan hukuman bagi korupsi di negeri ini cukup lamban. Apalagi ketika kepentingan aktor-aktor di panggung pemberantasan turut bermain. Entah itu anggota KPK-lah, Pengacara terdakwa korupsi-lah, Panitra Hukum di kantor kehakiman-lah bahkan orang-orang di Mahkamah Agung pun malah ikut bermain. Alih-alih bukannya bertekad memberantas korupsi, tapi malah sebaliknya ingin mencicipi juga duit korupsi.
Hukum di negeri bernama Indonesia ini memang penuh mafia. Mafia kelas kakap hingga kelas tikus angin bertebaran di mana-mana. Menawarkan jasa sembunyi-sembunyi hingga buka-bukaan di sudut-sudut ruang Kejaksaan dan Pengadilan. Bermain dengan Jaksa, Hakim dan juga Lembaga Keuangan contoh: BI, dan BLBI, Yudikatif, Eksekutif dan Legislatif sama gilanya.
Bila sudah begitu, kita perlu berpikir ulang. Benarkah keinginan memberantas korupsi itu bakal mengakar dalam diri bangsa ini?. Hanya Allah SWT yang tau (Alahualambisawab). Terimakasih banyak atas kebaikan karena Allah SWT. (Jazakumullahukhoir).
Rabu, 22 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar